4.11.2019

OPTIMALISASI MANUSIA

Banyak pimpinan perusahaan yang menyadari bahwa kunci kesuksesan mereka terletak pada manusianya. Namun, tidak sedikit kemudian menggeser tanggungjawabnya ke departemen atau bagian yang mengelola sumber daya manusia. Disinilah kita memulai permasalahan: kita engan melakukan pengelolaan manusia. Lalu, bagaimana kita bisa mengoptimalkan sumber daya manusia?
Tentunya hidup kita sangat tenteram bila semua manusia yang kita kelola adalah pekerja keras, kolaboratif, bersikap bagus, dan bertalenta luar biasa. Tetapi, apakah situasi ini realistis? Apa ada manajer yang menhadapi situasi yang seperti ini? Yang jelas seorang manajer langsung berhadapan dengan dua golongan: ada orang yang mudah dikelola dan ada yang tidak bisa didiamkan begitu saja, serta diharapkan mengembangkan dirinya sendiri. Ada yang berbakat, tetapi todak kolaboratif. Sebaliknya, ada yang bersikap nice dan penolong, tapi tidak terlalu berbakat. Ada yang bermotivasi, tetapi terlalu agresif. Sebaliknya, ada pula yang pandai, tapi melempem. Selain itu, kita menemukan yang bertalenta, sangat agresif, bisa sejalan dengan tujuan perusahaan, tetapi moody dan akhirnya bisa dikatakan “high maintenance”.
Dari divisi human capital, kita sering disarankan mengikuti system dan menggolongkan individu dibawah kita sesuai dengan cocok-tidak cocoknya peran, dengan bagaimana ia berprestasi. Banyak manajer yang mengalami kesulitan untuk menggolong-golongkan bawahannya kedalam kotak-kotak ini. Satu hal yang kita harus ingat adalah kita mengelola manusia yang sangat fleksibel pengembangan emosi maupun karakternya. Pengamatan yang kurang seksama akan menyulitkan kita untuk menggolong-golongkan bawahan.

Mengelola manusia = mengembangkan kepemimpinan
Dengan tuntutan perusahaan untuk mencapai hasil finansial yang telah ditetapkan, kita sering menomorduakan pengelolaan manusia. Lupa bahwa bila manusia dioptimalkan kita otomatis akan mendapatkan hasil yang berlipat. Kita bisa membuang-buang waktu bila berharap bahwa urusan manusia bisa ditunda dan akan berubah dengan sendirinya.
Banyak manajer yang merasa bahwa dengan sekali setahun membuat evaluasi dan menginstruksikan bawahannya membuat indifidual development plan sudah cukup. Dan, selebihnya adalah tanggungjawab bawahan untuk mengembangkan diri. Kita sering lupa bahwa semua bentuk frustasi, di pihak kita maupun di pihak bawahan, adalah bagian penting dari manajemen. Satu-satunya jalan bagi para pemimpin adalah menyambut positif masalah manusia dan menggarapnya sebagai tantangan yang penting.

Konflik adalah tantangan
Banyak para manajer mengeluh, bahkan meninggalkan lingkungan perusahaan tertentu, ketika terjadi banyak kinflik yang tidak ada henti dan solusinya. Bisakah kita membayangkan fungsi seorang manajer bila dalam bagian yang ia pimpin tidak terjadi konflik sama sekali?
Conflict is the currency of management. Bila tidak ingin menguasai dan terampil menyelesaikan konflik, mungkin kita memang tidak berbakat menjadi pemimpin. Seorang pemimpin tidak mungkin menghindari konflik, mereka harus hidup diatas konflik dan tetap menjaga agar setiap individu happy. Kita perlu sadar bahwa kita akan hidup Bersama individu-individu yang sama pada masa depan, jadi perlu menguasai seni mencari solusi konstruktif.

Anda tidak selalu harus mandiri
Di lingkungan organisasi kita, terdapat banyak teman senasib, yang pengalamannya dalam pengelolaan manusia tidak sama dengan kita. Banyak diantara kita sering melupakan hal ini. Kita sebetulnya tidak salah, bisa mendiskusikan pengelolaan manusia ini dengan teman sekerja atau atasan kita.
Kita bisa mendapatkan perspektif lain yang justru membuka pikiran. Ini bukan tanda bahwa kita lemah. Justru minat terhadap manusia menunjukkan  bahwa kita ingin menjadi manusia yang lebih sensible. Kita tentunya bisa mengikuti program yang digariskan departemen human capital seperti coaching dan mentoring, tetapi yang paling mempan adalah bisa kitalah yang menginisiasi pengelolaan ini sendiri.

“Mindset”: manusia adalah “intangible asset”
Ketika menghadapi bawahan yang problematik, kita perlu bertanya: apakah dia beban atau asset? Pada masa digital ini, kita menemui banyak anak muda bertalenta langka yang tidak mudah bekerjasama dengan rekan-rekan seniornya karena mereka lebih suka melakukan banyak hal dengan caranya sendiri. Namun, keuntungan yang mereka bawakan sungguh nyata dan bahkan sulit tergantikan. Jadi, jelas mereka adalah asset. Bila kita para atasan tidak mengelola mereka dan merasa enggan menghadapi kesulitannya, mereka pada akhirnya bisa juga merongrong perusahaan.
Tidak ada solusi instan yang bisa dilakukan untuk mengelola masalah manusia, apalagi mengoptimalkannya. Tetapi, yang jelas, kita manusia dan bawahan juga manusia, pendekatan yang manusiawi tetap akan paling mempan untuk meningkatkan produktivitas.

“Person to person”
Banyak manajer tidak sanggung mengelola manusia karena tidak tahu bagaimana membuka saluran komunikasihati ke hati dengan bawahan. Memang, tanpa hubungan yang terbuka, tulus, dan jujur, pengelolaan manusia tidak akan optimal.
Sebelum melakukan coaching, counceling, ataupun mentoring, kita perlu menelaah diri sendiri dahulu. Apakah kita mampu menghargai bawahan dan memberi komentar yang positif terhadap prestasi sekecil apapun? Apakah kita selalu awas dan juga memperhatikan kinerjanya dan siap segera memberi komentar?

Mengoptimalkan manusia melalui kelompok
Pada era ketika milenial akan menguasai jumlah tenaga kerja ini, kita juga perlu melihat kecenderungan bahwa mereka lebih suka berkelompok. Tidak ada jalan yang lebih efektif untuk mengoptimalkan kinerja individu daripada mendekatinya melalui kerja kelompoknya. Kita bisa memberi mereka kesempatan untuk mengambil keputusan. Kita pun bisa mengajak mereka untuk memperluas pandangan, dengan membiasakan berdiskusi dengan tema “what if”. Dalam kelompok, setiap individu akan terbiasa mengelola keberbedaan dan membangun konsensus.

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Maret 2019 (Rubrik karier, hal 15)

3.17.2015

ASAH TALENTA

Rapat umum pemegang saham di lingkungan BUMN sudah mulai sering terdengar diadakan. Reaksi menghadapi situasi ini bermacam-macam. Ada direktur yang sudah mulai berpesan meninggalkan legacy-nya. Ada pula yang waswas, apakah ia masih akan tetap menjabat. Namun, ada juga manajemen yang melakukan crash program terhadap para eksekutif yang dinyatakan berhasil melalui assasement agar mereka wellequipped bila ditempatkan dimanapun. Yang jelas, sekarang kita bisa melihat hasil pengasahan talenta dari setiap organisasi.
Ada organisasi yang bertalenta banyak yang siap diberi penugasan baru. Namun,ada pula yang “kering” sehingga harus mengais-ngais mencari calon suksesor. Bila pada saat diperlukan kita baru mulai mencari dan menyeleksi, biasanya timing-nya sudah terlambat. Pengembangan talenta sebenarnya dimulai dari saat seorang individu direkrut oleh organisasi. Sayangnya, meski semua orang setuju dengan prinsip ini, tidak semua bisa mempraktikannya. Banyak yang mengeluhkan adanya kendala waktu. “Saya tidak bisa membimbing, terutama ketika tanggung jawab saya semakin berat”. Andaikata mereka memikirkan keterampilan anak buahnya, pasti yang lebih diperhatikan adalah sisi hard skills, yang jelas berkaitan dan langsung memengaruhi laba rugi.
Manajemen talenta ini memang sangat tidak terasa dan baru dipandanng penting pada saat kita sudah tidak bisa membenahinya dalam waktu singkat karena bersifat jangka panjang, bertumbuh, dan kultural. Beberapa penelitian membuktikan, ketika masih di lapangan, relatif masih banyak pemimpin yang memperhatikan dan meng-coach bawahannya. Ketika mereka naik ke jabatan yang lebih tinggi, apalagi paling tinggi, ketika lampu sorot sudah diarahkan pada kinerjanya, biasanya semangat mengurus mengurus manusia menjadi hilang. Bila strategi dan sitem pengembangan manusia tidak diprioritaskan lagi, akan terbengkalai pekerjaan manajemen talenta ini. Kita bisa melihat bahwa visi, misi, dan values organisasi selalu ada, tetapi sangat jarang mencantumkan semangat mengembangkan manusia sebagai prioritas utama.       
“Leanders create leaders”
      Brian kibby, presiden McGraw-Hill Higher Education, mengatakan, pemimpin ynag rajin memang harus meluangkan waktu, mengadakan kontak mata, dan memperhatikan orang-orangnya dengan saksama. Waktu, surat-menyurat dan rapat koordinasi perlu diskedul sedemikian rupa agar ia tetap mempunyai kesempatan untuk berinterkasi secara interpersonal. Bila hal ini tidak dilakukan, bisa jadi pemimpin akan kehilangan kepekaan mengenai manpower-nya. Selain itu, keterampilannya untuk mengelola talenta akan terkikis “power messes up our ability to learn” katanya.
Menurut Kibby, pemimpin tetap harus menjadi role mode dalam sikap belajar. Ia harus berani mengakui, antara tahu dan tidak tahu, serta membuat pengakuan yang transparan tentang apa yang ia tidak tahu. Dalam organisasi atau values perusahan, belajar benar-benar perlu diprioritaskan. Bukan saja dalam menyusun strategi, penerapannya pun harus senantiasa dipikirkan. Belajar harus menjadi magic word dalam setiap pembicaraan. Bisa kita bayangkan bila seorang CEO selalu menanyakan pertanyaan yang sama kepada setiap karyawan yang ditemuinya di lift, ”apa yang sedang kau pelajari hari ini?” bukankah ini akan merangsang semua orang untuk siap belajar?
Pengembangan talenta sesungguhnya perlu juga didukung oleh sistem dan semua proses. Setiap atasan harus menyadari bahwa ia harus mempersiapkan bawahanya ke jenjang pengetahuan keterampilan, dan sikap yang lebih tinggi. Paling sedikit, semua orang memegang kurikulum belajarnya, artinya tahu kekurangannya dan bagaimana memperbaikinya. Career Path, bagaimana mengarunginya dan kemana pergi bila ada hambatan harus jelas. Setiap orang mesti pernah mengalami hambatan dan perlu merasakan bagaimana ia menanggulangi masalah yang sedang dihadapi. Bila dalam organisasi semua orang memperlakukan masalah sebagai tantangan, bahkan ingin selalu belajar dari kesalahan, manajemen talenta akan mudah dilaksanakan.
Mengasah talenta melanggengkan perusahaan
Google dan Volkswagen adalaha perusahaan yang sampai saat ini tetap juara inovasi. Dikedua perusahaan ini, inovasi mengalir tiada henti. Pengembangan karyawan mengikuti pepatah “patah tumbuh, hilang berganti”. Ini didukung dengan hubungan autentik antara penampilan perusahaan dan apa yang dirasakan karyawannya di “dalam”, yaitu value proposition yang tepat. Karyawannya tahu mengapa mereka harus berprestasi, tumbuh, berkembang, dan sukses.
Para pemimpin tahu bahwa strategi dan eksekusi harus sejalan. karyawannya tahu bahwa mereka harus bertindak kolektif secara cultural, disamping juga berprestasi  secara individual. Mereka tahu bahwa mereka harus di local dan bisa diadu secara global. Mereka sadar bahwa mereka perlu patuh pada aturan perusahaan tanpa harus kehilangan fleksibilitas berpikir.
Manajemen puncak di kedua perusahaan ini sangat mementingkan efisiensi operasional sejalan dengan strategi yang agresif. Individu selalu diingatkan untuk mandiri walaupun secara bersamaan dengan itu, juga menganut tujuan bersama yang seragam. Karyawan perlu sadar, hanya dengan pengembangan talenta, regenerasi, dan pembaharuan, perusahaan bisa menjaga produktifitasnya serta setiap individu berperan penting di dalamnya. Ini semua karena, ”our leaders are deeply engaged in and accountable for spoting, tracking, coaching, and developing the next generation of leaders”.
EILLEEN RACHMAN
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Kompas, Sabtu 14 Maret 2015

2.02.2015

Pemimpin itu memotivasi, bukan melemahkan

Beberapa waktu yang lalu, ada teman bercerita tentang kondisi organisasinya. Saat ini kondisi mereka serba tidak jelas, demotivasi, dan tidak percaya dengan pemimpinnya. Apa sebab kondisi tersebut? Ternyata sikap pemimpin yang bukannya memberI motivasi malah lebih sering melemahkannya. Melemahkan  ide-ide yang bahkan belum lahir. Melemahkan semangat dengan memberikan komentar-komentar negatif dan mengalihkan tanggungjawab kepada bawahannya.
Salah satu tugas pemimpin adalah memotivasi, bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa motivasi adalah tugas terpenting dari seorang pemimpin selain harus mengembangkan pengikutnya. Ketika berbicara kepemimpinan, mau tidak mau kita berbicara tentang sosok. Sosok pemimping sangat berperan dalam sebuah organisasi. Seorang pemimpin dapat mempengaruhi banyak hal, mulai dari kecepatan perkembangan organisasi, bagaimana organisasi bereaksi terhadap masalah, hingga bagaimana kinerja setiap orang dalam organisasi. Tanpa pemimpin yang baik, sebuah organisasi dan orang-orang di dalamnya akan sangat sulit untuk berkembang dengan baik.
Berbicara sosok pemimpin tentunya berhubungan dengan gaya kepemimpinan. Seorang pemimpin tidak dilahirkan tapi dilatih karena sesungguhnya setiap manusia adalah pemimpin, yang membedakan hanyalah level kepemimpinannya. Level kemimpinan akan semakin tinggi apabila dilatih. Secara garis besar, gaya kepemimpinan dibagi 2 yaitu transaksional dan transformasional. Kita kupas satu per satu gaya kepemimpinan tersebut.
Yang pertama adalah gaya kepemimpinan transaksional. Gaya kepemimpinan transaksional secara umum, adalah gaya kepemimpinan yang memberikan arahan kepada pengikutnya. Bawahan atau pengikut tidak didorong untuk berinisiatif. Apabila disimpulkan, gaya kepimpinan ini lebih cocok diterapkan pada level bawah atau oleh para supervisor karena mereka bertugas menyelesaikan tugasnya sesuai dengan prosedur/SOP yang ada. Gaya kepemimpinan transaksional juga cocok dengan kondisi bawahan/pengikut yang rata-rata tidak mempunyai inisiatif, kurang kreatif, dan lebih banyak menunggu perintah.
Untuk di tingkat lebih tinggi, maka sebaiknya menerapkan gaya kepemimpinan transformasional. Gaya kepemimpinan transformasional cocok untuk organisasi yang pengikutnya/bawahannya mempunyai kreatifitas dan inistif tinggi. Gaya kepimpinan ini merupakan gaya kepemimpinan yang saat ini lebih banyak diterapkan. Dunia bisnis, terutama, saat ini diisi oleh pengikut-pengikut atau bawahan-bawahan dari generasi Y yang mempunyai fleksibilitas, kreatifitas, dan inisiatif yang tinggi, maka dari itu kepemimpinan transformasional berkembang dan membawa kemajuan dalam organisasi.

Kembali ke motivasi. Dalam organisasi yang diisi oleh orang-orang yang penuh kratifitas dan inisiatif serta mempunyai keinginan atau menuntut fleksibilitas dan kebutuhan akan aktualisasi diri tinggi hanya motivasi yang diharapkan. Bila pemimpin menyadari dan mengetahui hal ini, maka tugas kepemimpinannya sebenarnya lebih mudah. Sediakan ruang, monitoring, dan motivasi mereka maka tinggal tunggu saja hasilnya.
Kita perlu ingat filosofi kepemimpinan Ki Hajar Dewantara “Ing Ngarsa sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”

5.01.2014

CEO yang Berubah

Dalam sebuah artikel berjudul "What You Don't Know About Dell" di Bloomberg Businessweek Magazine, terungkaplah kisah berikut ini.

Musim gugur 2001, CEO Dell Michael S. Dell dan Presiden Dell Kevin B. Rollins merasa yakin bahwa perusahaan itu pulih dari krisis global dalam penjualan PC dan kuat. Mereka menyimpulkan, karyawan merasa bangga dan puas.
Namun hasil survey kepuasan karyawan memukul mereka dengan keras. Wawancara internal mengungkapkan bahwa bawahan merasa Dell adalah orang yang tidak perhatian, penyendiri, impersonal, tidak punya perasaan. Sementara Rollins dipandang sebagai otokratis, memaksakan kehendak, dan tidak ingin tahu gagasan orang lain. Banyak orang tidak puas, dan ketidakpuasan itu menyebar. Separuh dari karyawan Dell Inc's akan pergi jika mereka mendapat kesempatan.
Pada raksasa industri lain, kebanyakan orang selevel CEO dan Presiden akan mengabaikan kritik. Namun tidak dengan Dell dan Rollins. Mereka memutuskan untuk mengurus keluhan itu.
Dalam seminggu, Dell mengadakan meeting dengan 20 manajer utamanya dan melakukan kritik-diri yang jujur. Ia mengakui bahwa ia sangat pemalu dan kadang-kadang membuatnya tampak sebagai penyendiri dan sulit didekati . Dia berjanji membentuk ikatan yang lebih kuat dengan timnya. Manajernya sangat terkejut saat mereka diberitahu hasil tes kepribadian Dell yang menunjukkan bahwa ia seorang introvert ekstrim. Brian Wook, kepala penjualan sektor publik menyatakan, “Apa yang diucapkannya sangat berpengaruh. Pasti tidaklah mudah baginya untuk melakukan hal itu.”
Dell tidak berhenti sampai di situ. Ia menayangkan video percakapannya kepada setiap manajer yang jumlahnya ribuan. Dell dan Rollins berkomitmen untuk berubah dengan membuat tanda pengingat. Mainan bolduser plastik untuk Michael Dell, mengingatkan dia untuk tidak melindas gagasan orang lain. Boneka Curious George mendorong Rollins untuk mendengarkan pendapat timnya sebelum membuat keputusan.
Mereka adalah contoh pemimpin yang cerdas emosi. Salah satu hal yang mendasar yang mereka lakukan adalah mereka berani mengakui apa kekurangan mereka, dan mau berkomitmen untuk memperbaikinya. Hal ini mudah bila Anda adalah seorang bawahan tingkat rendah. Namun akan menjadi hal yang sulit dilakukan pada level jabatan tinggi.
Bagaimana dengan Anda?



8 Prinsip dalam Kecerdasan Emosi

Dalam artikel sebelumnya kita melihat contoh perilaku tokoh sekelas CEO dan Presiden dari Dell's Inc dalam menghadapi kritik terhadap dirinya. Tanpa disadari mereka melakukan 8 prinsip kecerdasan emosi yang diungkap dalam buku "Applied EI, The Importance of Attitudes in Developing Emotional Intelligence, karya Tim Sparrow and Amanda Knight.
8 Prinsip itu adalah:
#1 Kita memiliki kontrol dan bertanggungjawab atas tindakan kita masing-masing.
Kita tidak bisa melemparkan tanggungjawab pada lingkungan, orang tua, situasi ekonomi, rekan kerja, atau lain-lainnya pada suatu hal yang merupakan tindakan kita. Orang yang cerdas emosi akan mencari kontrol
#2 Tidak ada orang yang bisa mengambil kendali dari perasaan kita.
Perasaan kita adalah milik kita. Jadi kita bisa memilih, mau happy, mau sedih, mau tidak terpengaruh, atau mau marah. Pilihlah emosi yang sesuai dengan yang seharusnya. Ini perlu latihan.
#3 Setiap orang berbeda, mereka memiliki pengalaman berbeda, merasa berbeda, dan menginginkan hal yang berbeda.
Jangan menuntut orang untuk selalu ngertiin kita. Kita juga harus ambil waktu untuk memahami orang lain. Mencoba melihat apa yang terjadi sesungguhnya pada orang lain. Dan bertanya mengapa sih dia bereaksi begitu?
#4 Setiap orang tidak bisa dihakimi sebagai orang buruk.
Setiap orang punya alasannya. Tidak berarti kita setuju dengan semua tingkah seseorang, namun memahami akan membuat kita mampu melihat dengan lebih obyektif. Maka 'resep' kita akan menjadi lebih tepat.
#5 Perasaan dan perilaku adalah hal yang terpisah.
Jangan biarkan perilaku otomatis dipengaruhi oleh perasaan. Mereka berdiri sendiri. Perasaan dan perilaku bukan satu paket. Misalnya marah harus memukul, senang harus tertawa terbahak-bahak, dll. Kadang kita perlu menjaga perilaku kita sesuai dengan situasi saat itu.
#6 Semua perasaan siapapun adalah hak milik pribadi, harus dipahami, dan dianggap penting.
Jangan menyanggah perasaan orang lain. Perasaan tidak ada benar atau salah. Perasaan adalah apa yang dirasa. Jadi ya memang begitu. Kadang kalau ada orang berkata, "Aku kecewa." kita cenderung menjawab, "Kenapa kamu kecewa? Harusnya kamu gak boleh kecewa! bla bla bla.." disertai sejuta nasehat.
#7 Perubahan itu mungkin termasuk mengubah diri sendiri.
Tidak ada yang tidak mungkin.
#8 Semua orang memiliki kecenderungan alami untuk bertumbuh menjadi lebih baik.
Sebarkan ini ke sebanyak mungkin orang. Karena setiap orang ingin menjadi lebih baik.


*Donni Hadiwaluyo
sumber: milis_proaktif@googlegroups.com

4.25.2013

Pelanggan Kidal

Sumber: Buku Kafe Etos
Oleh: Jansen H Sinamo

Tersebutlah dua orang sahabat memasuki restoran pada sebuah hotel baru berbintang lima berlian. Mereka ingin bersantap siang. Setelah mendapatkan tempat duduk, datanglah seorang pelayan membawa teh dan kopi.

“Selamat pagi Tuan. Minumnya apa? Kopi atau teh?” Tanya pelayan itu dengan ramah.

“Terimakasih. Saya minta, “ jawab pria yang pertama.

Pelayan itu pun menuangkan kopi.

“Kalau Tuan?” tanyanya kepada tamu kedua.

“Saya minta teh saja.”

Sebelum menuangkan teh, dengan sopan pelayan tersebut bertanya, “Maaf, benarkah Tuan seorang kidal?”

Kaget dan takjub sang tamu menjawab, “Oh, benar sekali.

Tapi, dari mana Anda tahu?”

Sambil tersenyum si pelayan meletakkan kopi dan tehnya, lalu dengan sigap menata sendok dan garpu di meja tersebut agar sesuai dengan kondisi orang kidal,

Sambil menuangkan teh, pelayan itu menjawab, “Ya, saya memperhatikan gerak-gerik Tuan sejak tadi. Saya melatih diri saya untuk mengenali ciri-ciri orang kidal.”

Setelah mencatat pesenan, pelayan itupun pergi.

Gelandangan Pintar

Sumber: Buku Kafe Etos hal 199
Oleh: Jansen H. Sinamo
Kehadiran seorang gelandangan gila tiba-tiba saja mengejutkan kota kecil yang biasanya sunyi sepi. Tidak ada yang tahu dari mana dia berasal. Wajahnya kelihatan bodoh. Kelakuannya aneh dan lucu. Itu pula yang membuatnya menjadi pusat perhatian. Penduduk suka menggodanya. Kehadiran gelandangan tua itu menjadi semacam hiburan di tengah rutinitas mereka yang mononton. Rumah makan dan kedai kopi kini menjadi ramai karena ada topik baru yang dibicarakan.

Sekali waktu datanglah kepada gelandangan itu seorang pemuda. Ia meletakkan uang Rp20 ribuan dan Rp100 ribuan di tangan kiri dan kanannya. Lalu ia meminta si gelandangan untuk memilih yang mana untuknya. Gelandangan yangmenyambutnya dengan gembira. Lalu ia memilih yang Rp20 ribuan. Orang-orang yang menonton kejadian itu tertawa karena merasa lucu: betapa bodohnya si gelandangan, tak bisa membedakan mana uang yang bernilai lebih besar.
Keesokan harinya, ada pria lain yang menggoda si gelandangan. Caranya tetap sama. Ia meletakkan uang Rp20 ribuan di tangan kiri dan Rp100 ribuan di tangan kana. Dan cerita kemarin berulang lagi: si gelandangan tertawa senang lalu menjatuhkan pilihan kepada uang Rp20 ribuan yang masuk kantongnya. Dan para penggoda itu dengan senang hati menyaksikan kebodohan si gelandangan yang memilih uang yang lebih kecil.

4.18.2013

CATATAN SEDIH SEORANG B.J HABIBIE

Sumber: http://www.facebook.com/cosmofm

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...

Pada usianya 74 tahun, mantan Presiden RI, BJ Habibie secara mendadak mengunjungi fasilitas Garuda Indonesia didampingi oleh putra sulung, Ilham Habibie dan keponakannya, Adri Subono, juragan Java Musikindo.

Kunjungan beliau dan rombongan disambut oleh President & CEO, Bapak Emirsyah Satar disertai seluruh Direksi dan para VP serta Area Manager yang sedang berada di Jakarta.

Dalam kunjungan ini, diputar video mengenai Garuda Indonesia Experience dan presentasi perjalanan kinerja Garuda Indonesia sejak tahun 2005 hingga tahun 2015 menuju Quantum Leap.

Sebagai “balasan” pak Habibie memutarkan video tentang penerbangan perdana N250 di landasan bandara Husein Sastranegara, IPTN Bandung tahun 1995 (tujuh belas tahun yang lalu!).

Entah, apa pasalnya dengan memutar video ini?